Buku favorit saya yang setiap orang tua di sarankan untuk membacanya. Kenapa ? Karena banyak sekali kisah pengalaman dari banyak orang tua dengan permasalahan dan upaya supaya anak bersikap baik. Untuk menciptakan anak yang menurut kepada orangtua sebetulnya tidak terlalu susah, kita hanya perlu melakukan tugas kita saja. Bila kita sudah melakukan tugas kita, kemungkinan besar anak akan tumbuh dengan baik dan menjadi anak penurut. (Paul Gunadi, saat memimpin parent seminar SPH 2004)
1. Semua Kita Bergumul
Pertama kali kami bergumul tentang tema ini saat anak sulung masih batita. Dia mulai suka memukul, merajuk, dan sulit makan. Saya teringat anak-anak tetangga yang lebih besar dari anak kami. Ada yang gemar memukul pembantu, membangkang, berbicara kasar, dan lain sebagainya. Sempat terbersit, apakah anak kami akan bertumbuh demikian? Kami memutuskan akan berbuat sesuatu dalam mendidik dan mengasuh anak kami. Bagaimana menyiasatinya? Sebenarnya, dalam pendidikan anak berlaku yang dinamakan hukum”tabur-tuai”. Artinya, siapa menabur dengan susah payah dan air mata, ia akan menabur dengan bersorak-sorai. Orangtua yang memberikan sepenuh hatinya untuk anaknya, dalam anugerah Tuhan akan “menuai” anak-anak yang bersikap baik juga. Bersikaplah dengan sepatutnya pada anak sejak mereka masih sangat kecil. Itu akan membuat hubungan orangtua-anak berkembang baik.
2. Pahami Perkembangan Anak
Sikap kita kepada anak akan terarah jika kita mengerti perkembangan mereka. Waktu saya (Witha) masih bersama orangtua, sambil ngobrol mama saya menirukan perilaku saya saat berusia 2-3 tahun. Kata mama, saya anak yang rajin membantu. Apa saja yang dilakukan mama saya, saya bantu. Misalnya mencuci piring, membersihkan sayur, dsb. Saya bersyukur, saat itu mama saya mengerti aspek “belajar mandiri” yang dibutuhkan anak usia 2-3 tahun. Mama tidak marah melihat sikap saya, walaupun kerajinan saya seringkali membuat semua tambah kacau. Mama mengarahkan saya dengan benar sehingga di usia 4-5 tahun saya sudah bisa membersihkan sayur, usia 8 tahun saya mengepel rumah, dan usia 10 saya memasak dan mengurus pakaian saya sendiri.
Pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia dengan kemampuan belajar yang baik. Semuanya dimulai di usia sangat belia. Orangtua sebaiknya memberikan waktu dan tenaga untuk mengajari anak mandiri di usia yang tepat. Karena, tidak mudah mengajari anak hal-hal paktis di rumah, setelah mereka lebih besar. Kalau kita sudah berlelah-lelah mengajari mereka sejak kecil hal-hal yang menyangkut disiplin praktis di rumah, kita tidak perlu mengomel atau memukul mereka lagi. Anak-anak kita dengan sendirinya mengerti. Sedapat mungkin hindari omelan dan pukulan karena dapat membuat sakit hati berkepanjangan, baik dari orangtua maupun anak.
Anak-anak di usia 7-13 tahun suka meniru. Jika anak-anak di usia SD melihat tayangan film semacam Power Ranger, mereka ingin menjadi seperti tokoh di film itu. Menjadi pahlawan dengan berkelahi bisa jadi cita-cita mereka. Apalagi, setelah berkelahi dan mengalahkan musuh, tokohnya diberi medali dan dielu-elukan. Anak-anak belum bisa berpikir secara abstrak. Mereka belum mampu mengambil nilai baik suatu peristiwa. Tidak heran, kalau anak-anak ini sering melihat atau merasakan kekerasan, dia akan jadi suka melakukannya pada orang lain.
Kita tidak bisa menghindarkan anak dari hal-hal kekerasan. Selain TV (termasuk video dan game), koran juga dipenuhi berita kekerasan. Tapi kita bisa meminimalkan pengaruh buruknya. Orangtua perlu mendampingi mereka dan memberikan penjelasan mengapa si penembak diberi “hadiah”. Pendampingan ini tidak bisa sepotong-sepotong. Artinya, waktu sebanyak mungkin sangat dibutuhkan anak usia ini. Tiap kali menonton atau membaca berita yang sulit mereka pahami, orangtua wajib memberi penjelasan. Paling baik, minimalkan jam anak menonton TV.
Contoh lain. Jika kita ingin anak kita rajin membaca, kitalah yang harus memberi memulainya. Anak-anak (kecil) yang melihat orangtuanya rajin membaca atau olahraga, akan senang meniru aktifitas itu. Usia meniru ini seharusnya diakhiri dengan kecermatan menilai yang baik dari yang salah; serta kemampuan memutuskan untuk memilih yang benar. Kedua anak kami yang berusia 14 dan 10 tahun, sejak kecil sangat suka membaca sebab kami memberikan contoh dan melatih mereka.
3. Sopan-santun dan Kebiasaan Baik
Ini adalah perilaku yang wajib diajarkan orangtua kepada anak-anak. Sangat baik jika kita melatih anak mengatakan terimakasih, selamat pagi (atau siang/malam), permisi (jika lewat di depan orangtua), maafkan saya, tolong, dan sebagainya. Sejak anak masih sangat kecil, kita bisa mulai memberitahu mereka cara bersopan-santun jika bertemu orang lain.
Anak-anak juga perlu diajari cara berbicara yang baik. Misalnya tegurlah mereka dengan baik jika meminta sesuatu dengan menangis atau sambil berteriak. Ada anak yang memaksa ibunya membelikan sesuatu di mal. Kalau ditolak, mereka akan menangis, berteriak, bahkan sampai berguling-gulng di lantai. Tentu kita malu jika anak-anak bersikap demikian. Umumnya orangtua akhirnya mengabulkan permintaan anaknya, daripada harus menanggung malu di depan orang banyak. Kalau kita membiarkan anak “mengatur” kita dengan cara demikian, berarti kita menjerumuskan mereka ke dalam perilaku yang buruk.
Cobalah mempersiapkan anak usia 4 atau 5 tahun sebelum mengajak dia ke toko. “Mama mau ke mal. Mama sudah mencatat semua yang mama perlu beli. Mama ingin mengajak kamu. Apakah ada yang kamu perlukan?”Jelaskan bahwa kita mau dia ikut, tetapi jika dia punya kebutuhan harus direncanakan dan dicatat sebelumnya. Kita tidak akan membeli barang yang tidak ada dalam catatan.
Seorang ibu bicara dengan saya. Dia menyadari bahwa dalam keluarga besar mertuanya komunikasi biasa dilakukan dengan kasar dan suara yang keras. Suami saya menyadari ini. Ia mau berubah. “Tapi sulit, ya,” katanya. Tiap kali kata-kata brengsek, bego, jahil, babi, dsb keluar juga dari perbendaharaan kalimat-kalimat suaminya. Yang menjadi keprihatinannya adalah anak-anaknya yang menjelang remaja cenderung mengadopsi cara bicara demikian. Kalau kita menyadari cara bicara kita kurang baik dan kita tidak sanggup mengubahnya, kita perlu meminta pertolongan orang lain untuk mengingatkan. Jika anak-anak sudah dapat diajak diskusi, beritahukanlah dampak buruk komunikasi demikian kepada mereka. Tiap kali kita gagal, mintalah maaf pada orang yang kita ajak bicara. Biasanya kalimat-kalimat demikian terucap kepada orang-orang terdekat. Jangan sungkan meminta maaf. Upaya kita untuk berubah akan menolong anak-anak mengerti dan memaklumi jika kita gagal. Selain itu, biasakanlah saling memuji. Saya mau menceriterakan percakapan kami dan anak-anak di pagi hari bulan Desember 2004. Hari itu diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia. Kami sedang persekutuan pagi. Sebelum berdoa, saya (Julianto) menatap anak-anak. “Sekarang Hari Ibu,” kata saya, “kita juga sedang menuju akhir tahun. Coba kalian pikirkan ada yang paling berkesan bagi kalian yang mama lakukan tahun ini, yang kalian harus mengucapkan syukur kepada Tuhan dan berterimakasih kepada mama.? Anak-anak senyum-senyum, saling memandang, menatap kami, dengan malu-malu. Saya juga tersenyum, berdebar-debar menanti jawaban mereka.
“Enggak ada, ah Pa,” kata Jo, menggeleng.
“Pasti ada,” desak saya. “Ayo, pikirkan.”
“Iya, malu kita ya, Bang,” tambah Moze.
Kasihan juga melihat anak-anak kehilangan kata-kata. Tapi saya tetap pada pertanyaan saya. Setelah menunggu lama, Josephus membuka suara, “Ma, terimakasih ya Ma. Mama sudah menolong Joseph belajar sehingga bisa dapat ranking empat.” Josephus tersenyum memandang mamanya. Memang, beberapa hari sebelumnya dia menerima rapor, cukup baik hasilnya.
Moze tidak mau kalah. “Ma, terimakasih ya, mama mau cerita sama Moze tiap malam.” Dia lebih atraktif dari abangnya. Moze bangkit, memeluk dan mencium Wita, lantas duduk di pangkuan istri saya.
“Tadi pagi papa kirim SMS Kakek. Papa ketik: Pa, terimakasih sudah didik Wita baik-baik untuk menjadi ibu. Terimakasih sudah memberikan Wita menjadi istri saya.”
Membiasakan diri memuji anggota keluarga dan mengungkapkan rasa terimakasih secara verbal akan menolong kita menghilangkan kecenderungan berkata kasar. Kita bisa melihat hal-hal positif dalam diri orang lain, seperti halnya kita juga ingin dikenal.
4. Remaja, Tahap Bersosialisasi
Dalam hal-hal tertentu, usia remaja bukan lagi untuk belajar. Ini masanya mempraktekkan hal-hal baik yang sudah kita ajarkan sewaktu mereka lebih muda. Berhasil-tidaknya pengajaran kita akan ditentukan di sini. Kadang-kadang anak remaja ingin mencoba. Suatu kali anak remaja saya meminta izin saya untuk main di warnet melebihi ketentuan waktu (hanya sekali seminggu). Saya ingatkan kesepakatan kami. Tetapi dia berkeras.”Memangnya kenapa?” tanyanya, “toh aku selama ini sudah menurut sama mama dan papa. Lagian teman-temanku anak baik-baik, kok. Mama kenal mereka
semua.”
“Kamu tahu, mama hanya mengizinkan kamu main tiga jam seminggu. Tetapi kalau kamu memaksa, mama tidak bisa buat apa-apa. Mama hanya ingin kamu tahu isi hati mama; bahwa mama kecewa dan tidak setuju kamu main melebihi kesepakatan kita.” Saya menahan diri, jangan sampai memberi nasehat yang sebelumnya sudah berulangkali disampaikan.
Saya mengantar anak saya ke warnet. Ketika saya menjemputnya sesuai jam yang disepakati, dia langsung pulang dengan wajah cerah. Sama sekali tidak terlihat kecewa atau marah. Teman-temannya pun ikut pulang bersama kami. “Numpang ya, Tante ....,” kata mereka dengan ringan. Di mobil mereka asyik sekali membicarakan game yang baru saja dimainkan. Tetapi yang lebih penting anak kami kembali mengikuti kesepakatan yang dibuat bersama.
Untuk mencegah anak bermain banyak di luar kami menyediakan waktu lebih bersama anak-anak di rumah. Kami mengupayakan waktu ngobrol, bermain dan doa bersama serta membaca Firman Tuhan bersama. Dengan waktu lebih itu anak-anak lebih suka main di rumah dan belajar dari contoh-contoh kehidupan kita. Para sosiolog, psikolog, dan teolog sepakat bersama bahwa kebutuhan mendasar anak remaja adalah perasaan dicintai orangtua mereka.
Prof. David Popenoe dari Rutgers University mengatakan : ?Anak akan tumbuh dengan sangat baik ketika mereka mendapatkan kesempatan kehangatan, keintiman dan hubungan intensif dengan ayah dan ibu mereka. Anak remaja kita adalah sesama kita yang tredekat, yang membutuhkan cinta kasih kita. Jika anak remaja tidak mendapatkan cinta di rumah kita, dia akan berusaha mencari di tempat lain. Masalahnya adalah kalau dia mendapatkan di tempat yang salah.
Dalam teori Gary Chapman ada lima bahasa cinta anak yang berbeda pada setiap anak.
- Ada anak yang bahasa cintanya pujian dan afirmasi. Pujian itu harus tulus, spesifik, dan pujilah usahanya (proses) dan bukan hasilnya (kesempurnaan). Katakanlah kata kata ini berulangkali. Misal: “Saya sayang kamu!”, “Saya bangga punya kamu!”; “Jika saya harus memilih anak remaja di dunia ini, saya pasti pilih kamu!”; “Kamu begitu mengagumkan!”; “Aku bangga jadi papamu!”. Banyak kita tidak terbiasa dengan hal ini, tapi perlu dilatih, dilatih dan dilatih.
- Ada pula anak yang sangat suka sentuhan fisik. Tidak dapat disangkal ada kuasa dalam setiap sentuhan kepada orang yang kita cintai. Waktu anak kita bayi, kita peluk, gendong dan cium. Anak kita yang tiga tahun, kita angkat dan bermain seperti pesawat. Anak remaja bisa dipeluk, digandeng tangannya, dan sebagainya.
- Yang lain senang jika mendapatkan waktu dan kebersamaan, seperti ngobrol dan bermain. Memberikan remaja anda waktu yang berkualitas berarti memberikan mereka satu porsi kehidupanmu. Waktu berkualitas berarti memberikan remaja anda perhatian yang tak terbagi-bagi (konsentrasi penuh). Waktu berkualitas berarti komunikasi anda sangat berkuasa sebab disertai dengan cinta kasih. Menjadi hadir bersama dengan anak remaja anda di rumah bukan berarti itu sama dengan waktuberkualitas. Anda bisa seruangan tapi pikiran anda tidak pada anak tapi pada pekerjaan kantor. Kebersamaan selalu berarti ada kontak yang pribadi satu sama lain.
- Tidak sedikit dari anak kita paling senang dan merasa dicintai jika ayah atau ibunya melayani dan memberikan dia sesuatu.
- Dan hampir semua anak bahasa cinta kelima, yakni tetap mendapat wujud cinta orangtuanya walaupun kadang menjengkelkan orangtuanya.
Bahasa cinta ini perlu kita pelajari, jika tidak meski kita merasa sudah berkorban bagi anak tetap saja si anak merasa tidak dicintai orangtuanya. Sebab orangtuanya memberikan bukan bahasa cinta utamanya
5. Mendisiplin Anak
Sarah (5 tahun, nama samaran) bukannya menanyakan ibunya begitu turun dari mobil antar-jemput TK-nya; tapi mencari “mbak”-nya.
“Mbak! Susu!” teriaknya.
Tergopoh-gopoh, Siti, pekerja rumahtangga yang sudah bekerja di situ sebelum Sarah lahir, muncul dari dapur sambil mengocok sebotol susu. Sarah langsung menyambar botol itu, lantas duduk di sofa, minum susunya sambil mengangkat kaki. Sembari membiarkan Sarah menghabiskan susunya, Siti membuka sepatu dan kaus kaki Sarah. Siti juga mengambilkan baju yang bersih dan memakaikannya pada Sarah.
Andi (4 tahun) lain lagi. Punggungnya gatal menjelang tidur, sehingga harus ada yang menggaruknya sampai dia tertidur. “Repot juga, sih,” kata mama Andi, “apalagi saat ada tamu atau pada saat bersamaan adiknya lagi rewel.Tapi kalau tidak, Andi nggak bisa tidur.”
Ny. Ratih, orangtua Sarah sebenarnya menyadari bahwa anak bungsunya itu sudah terlalu besar untuk minum pakai botol dan dot. Tapi Ny. Ratih tidak tahu bagaimana menghentikan kebiasaan putrinya itu. “Nggak tega,” demikian alasannya ketika ditanya mengapa tidak tegas terhadap putrinya. “Pokoknya saya nggak mau belikan dot baru. Biar saja sampai rusak dan dia membuangnya sendiri.”
Tentang minum dot di botol ini, Ny. Budiono, salah seorang orangtua murid playgroup, juga mengeluh. Anaknya (3,5 tahun) tidak mau makan dan minum apa-apa kalau tidak diberi susu dalam botol. “Dia betah nggak makan apa-apa,” kata Ny. Budiono, “terus, bagaimana dong? Nanti dia kelaparan, sakit, malah kita yang repot.”
Rata-rata, para ayah dan ibu menyadari pentingnya menegakkan disiplin dalam keluarga sejak anak masih kecil, sedini mungkin. Tapi tidak tahu caranya. Anak yang sejak kecil disiplinnya lemah cenderung kurang percaya diri, cengeng, malas, mudah menyerah, dan gampang dipengaruhi oleh hal-hal negatif. Bahkan menurut penelitian, kebanyakan anak-anak korban narkotika dan naza adalah mereka yang sejak kecil tidak dilatih disiplin. Anak-anak yang waktu kecil dibiarkan melawan, seenaknya sendiri atau apa pun kemauannya dituruti, di masa remaja dan dewasanya sulit menerima orang lain. Karena itu, orangtua terutama kaum ibu, harus tega menanamkan disiplin pada anak, demi masa depan anak itu sendiri. Kasih sayang yang kita curahkan bukan kasih sayang yang menampakkan kelemahan hati. Rasa sayang yang benar adalah sedia memuji pada saat yang tepat, tetapi siap dengan tongkat jika diperlukan.
Pada kasus Sarah, dia memilih tidak minum susu dan ngambek jika disuruh minum di gelas. Dalam hal ini ibu (atau ayah, jika Sarah lebih dekat pada ayahnya) harus tegas berkata, “Kamu sudah besar, sudah bisa minum di gelas. Kalau kamu tidak menurut, kamu tidak boleh ______ (memainkan mainan kesukaannya, misalnya).” Ayah dan ibu harus konsisten terhadap larangan ini.
Kadang-kadang anak memaksakan kehendaknya dengan menangis meraung-raung. Tangisan yang sifatnya “mengancam orangtua ini” tujuannya membuat orangtua tunduk dan mengikuti kemauan anak. Hati-hati, jika anak Anda bergulingan di lantai toys shop saat keinginannya membeli robot tidak dipenuhi. Kalau perlu, pukulan (terlebih untuk anak-laki-laki) perlu diberikan; supaya anak tahu, dia harus patuh pada orangtuanya.
Tetapi, kalau anak patuh tanpa disuruh, dia harus dipuji. Misalnya,”Wah, Sarah sekarang sudah besar, ya. Minumnya nggak pakai dot lagi.” Anak-anak paling senang disebut “sudah besar”. Pujian ini membuat dia berusaha menjadi lebih besar lagi. Untuk menunjukkan dia sudah besar, sekali-sekali, kita ukur tinggi badannya di badan kita, katakan padanya, “Dulu kamu tingginya sekian (tunjukkan tungkai anda), lihat, sekarang sudah segini (peragakan tangan di pinggang anda). Kamu sudah tidak pantas minum pakai dot lagi.”
Untuk anak yang lebih besar, misalnya kelas 1-3 SD, orangtua biasanya kesulitan menentukan lamanya menonton film atau bermain playstation, apalagi kalau si anak hanya dengan pembantu saja. Orangtua juga harus menyeleksi film atau bacaan yang sesuai dengan usianya. Ini tidak mudah. Apalagi jika tidak ada otoritas yang mengawasi. Tidak semua film TV dapat ditonton anak-anak. Film kartun pun belum tentu sesuai dengan usia mereka. Komik-komik Doraemon, Crayon Sinchan, atau Donal Bebek sekalipun, banyak memuat kalimat-kalimat yang kasar dan tidak patut diperkenalkan pada anak-anak di bawah 10 tahun. Apalagi, anak-anak di bawah 10 tahun memiliki daya ingat yang kuat terhadap apa yang mereka lihat dan baca.
Bagaimana agar anak-anak kita yang duduk di SD disiplin dengan aturan-aturan yang kita buat, sekalipun kita tidak di rumah? Maksudnya, mereka mandi pukul 4.30 sore, lantas belajar, makan malam pukul 7. Saat Anda tiba di rumah, berikan waktu kepada anak-anak untuk menceriterakan kegiatan mereka seharian. Lantas tanpa disuruh, mereka tidur pukul 8.30
6. Perlu Waktu dan Kesempatan
Berapa banyak waktu yang diperlukan untuk melatih anak disiplin? Siapa yang menjalankannya? Ini pertanyaan yang sulit dijawab, terutama olehorangtua yang supersibuk. Dalam suatu wawancara TV seorang artis mengatakan, “Bagi saya, yang penting kualitas waktu pertemuan dengan anak. Untuk apa sehari-harian dengan anak, tapi nggak ngapa-ngapain?” Bagi orang yang sibuk, ini mungkin semacam defence mechanism (mekanisme pertahanan diri). Mungkin, kalau ditanya lebih jauh akan ketahuan bahwa bagi si artis toh ada baby sitter yang mengurusi anak-anaknya. Jika kita hanya memikirkan kualitas waktu, kita cenderung mendikte anak dengan sejumlah
peraturan, tanpa anak bisa belajar dari orangtuanya cara menerapkan peraturan itu.
“Buanglah sampah di tempatnya!” perintah Mama.
Melani bertanya, “Mengapa sampah harus dibuang di tempatnya?”
“Jangan lama-lama main playstasion!” kata Pak Budi
“Lho, si Albert (teman sekelas yang juga tetangganya) kok boleh?” balas Edo.
Rupanya, tanpa setahu Pak Budi, Edo (7 tahun) tiap hari bermain di rumah si Albert.
Siapa yang harus menjawab? Orangtua memberi peraturan, tetapi tidak ada waktu untuk menjelaskan atau menjawab pertanyaan. Makin lama makin banyak “mengapa” yang muncul dari anak-anak. Sebab itu, orangtua harus berusaha memberi waktu sebanyak mungkin untuk menjelaskan kepada anak-anak mengapa dan bagaimana disipin dijalankan. Kadang-kadang, anak-anak berusaha menenangkan hati kita, “Udah, deh, Pa, Ma. Beres. Papa dan Mama pergi aja tenang-tenang. Nggak usah kuatir.”
Seharusnya orangtua mulai waspada jika anak-anak merasa tidak membutuhkan mereka lagi. Lebih baik hentikan semua kegiatan kantor atau pelayanan yang membutuhkan waktu lebih lama dari jam kerja. Mungkin itulah sebenarnya saat anak-anak paling membutuhkan kita. Jangan dikira, kalau anak-anak sudah mandiri (bisa mengurus diri sendiri), mereka dapat dibiarkan begitu saja.
7. Membuat Kesepakatan
Paling baik memang, jika ibu bekerja di rumah. Walaupun tidak selalu mudah, Ibu punya otoritas untuk mendisiplin anak dan menjaga agar semua peraturan di rumah dijalankan dengan baik. Tetapi keadaan sosial dan ekonomi dewasa ini kerap menuntut ayah dan ibu bekerja di luar rumah. Jadi bagaimana?
- Pertama, ibu dan ayah perlu mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan disiplin yang memerlukan perhatian khusus. Orangtua sepakat memikirkan cara mengatasinya.
- Kedua, ajari Siti pentingnya mendisiplin anak-anak anda. Beritahu dia hal-hal yang perlu diperhatikan dan ajarkan caranya. Kalau perlu, ibu menelepon ke rumah untuk mengontrol keadaan rumah. Kita perlu yakin bahwa Siti menjalankan aturan yang kita buat
- Ketiga, sampaikan pada anak-anak (kalau mereka sudah bisa diajak diskusi “3 tahun ke atas”), hal-hal yang perlu mereka perhatikan serta sanksinya. Katakan juga bahwa mereka harus mematuhi Siti (supaya Siti punya wibawa atas anak-anak Anda).
- Terakhir, jangan berhenti sampai di sini. Sebab ajaran tentang disiplin itu perlu terus menerus diterapkan sampai menjadi kebiasaan yang otomatis dijalankan anak-anak Anda.
Memang sulit jika akhirnya ketahuan Siti bukan orang yang bisa diserahi tanggung jawab. Kalau demikian keadaannya, ayah dan ibu harus mencar jalan keluar yang lain. Usahakan sekali-sekali pulang lebih cepat, tanpa kabar lebih dahulu. “Sidak” ini penting. Jangan percaya pada informasi yang Anda dapatkan di telepon, lantas menganggap segala-galanya beres di rumah. Marilah kita, orangtua, memberikan waktu sebanyak-banyaknya untuk anak-anak. Hanya dengan demikian kegiatan mendisiplin dapat terus berjalan. Akhirnya memang bukan hanya kuantitas, tetapi kualitas waktu bersama perlu diperhatikan. Salah satu cara memberikan kualitas pada waktu itu adalah dengan
bersama-sama menjalankan disiplin.
8. Bolehkah Memukul Anak ?
Kebanyakan kita belajar mendisiplin dari orangtua kita dulu. Jika orangtua kita ringan tangan, ada kecenderungan kita melakukan hal yang sama pada anak kita. Kalau sang Ibu cerewet dalam mengasuh anak, maka anak perempuannya mengadopsinya dan menjadi cerewet pula. Seperti pepatah Inggris mengatakan “like mother like daughter”, atau pepatah kita berkata “buah apel jatuh tak jauh dari pohonnya”. Zaman anak-anak kita sekarang tentu berbeda dari zaman kita kecil dulu. Perkembangan tekonologi misalnya sangat mengubah format emosi dan berpikir anak-anak kita. Zaman sekarang banyak ibu yang bekerja di luar rumah dan berakibat waktu ibu dengan anak sangat sedikit. Jarak rumah dan tempat kerja juga jauh, sehingga papa-mama berangkat pagi dan pulang malam dalam keadaan lelah. Belum lagi jika hubungan ayah-ibu tidak harmonis atau berbeda dalam cara mendidik. Hal-hal ini menimbulkan emosi-emosi negatif yang kalau kita tidak waspada, bisa kita timpakan kepada anak-anak kita.
- 8.a. Alasan Memukul
Umumnya kita memukul anak karena kita marah. Seringkali kemarahan orangtua sedemikian hebat sehingga pukulan yang diberikan cenderung tanpa pikir panjang dan berlebihan, atau impulsif. Setelah memukul orangtua menjadi sangat menyesal; tetapi tidak berdaya. Kebanyakan orangtua sebenarnya tidak tega memukul anak mereka. Tapi orangtua menganggap kalau dibiarkan, anak bisa jadi lebih nakal. Akhirnya, mau tidak mau,pukulan-lah yang orangtua pikir dapat memperbaiki tingkah laku anak-anak mereka. Pukulan-pukulan berakibat negatif pada anak-anak. Pada tataran terendah mereka akan malu, apalagi kalau ada orang lain (pembantu, adik-kakak, keluarga lain, teman) yang melihat mereka dipukul. Anak yang dipukul dapat membuat mereka menyalahkan diri sendiri. Mereka menjadi susah dan sedih, sebab dalam hati kecil mereka umumnya mengasihi orangtua, tetapi dia merasa telah membuat orangtua susah. Pada dasarnya seorang anak belum tahu bagaimana caranya menyenangkan papa-mamanya. Akhirnya si anak menjadi kesal terhadap dirinya sendiri. Perasaan-perasaan ini menumbuhkan kebingungan dan rasa marah dalam diri anak, baik terhadap dirinya sendiri maupun orangtuanya. Jika pemukulan, kemarahan, caci-maki, penghinaan, dsb terus dilakukan, anak ini tumbuh dengan harga diri yang rendah (inferior). Sepanjang hidupnya dia memendam kemarahan pada orangtuanya tetapi tidak tahu cara menyalurkannya. Dia ingin membalas, tapi jelas tidak mungkin. Maka satu-satunya cara yang dia lakukan (di bawah alam sadar tentunya) dia malah ingin membuat orangtuanya menjadi susah, lantas marah dan kembali memukulnya. Demikian terus-menerus, sehingga pukulan menjadi hal yang dinanti-nantikannya. Dia senang kalau orangtuanya marah. Inilah bentuk pembalasan dendamnya atas kekasaran orangtuanya sendiri.
- 8.b. Memukul, Alternatif Terakhir
Orangtua boleh memukul anak kalau SANGAT terpaksa. Dengan perkataan lain pukulan adalah alternatif terakhir. Sebab pada dasarnya banyak cara mendisiplin anak, misalnya: tidak mengizinkan anak nonton TV untuk beberapa saat, mengurangi atau bahkan mencabut jam bermain game, tidak mengizinkan main ke rumah teman sementara waktu, mengurangi uang jajan, dll. Kalau terpaksa memukul hendaknya dilakukan dengan baik, dengan tujuan memperbaiki tingkah laku anak, bukan untuk melampiaskan emosi negatif orangtua. Intinya, jangan memukul saat Anda marah. Sebaiknya kalau Anda sedang sangat marah pada anak, masuklah ke kamar, lakukanlah self-talk,”Tuhan, saya sedang sangat marah pada anak saya. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Tolong saya untuk menyampaikan kemarahan saya dengan baik dan benar. Berkati anak saya. Amin.” Mendisiplin anak sebaiknya dilakukan sejak mereka masih sangat kecil, sedini mungkin. Mulailah dengan mengajarkan disiplin dalam bentuk cerita. Selain cerita, kita bisa mengajarkan hal-hal baik pada anak lewat obrolan, pergaulan, simulasi, dsb. Hal ini kami jelaskan dalam buku “Membangun Karakter Anak Lewat Cerita” Perlu disadari bahwa ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku disiplin orangtua yang baik. Orangtua yang cerdas secara emosi akan menemukan cara mendisiplin anak dengan benar. Mendisiplin dengan pukulan bisa dilakukan sampai anak berusia 10 tahun. Lewat usia itu, hindarkanlah memukul anak. Kami sendiri jarang sekali memukul anak karena memiliki cara mendisiplin lain yang lebih efektif pada anak-anak kami.
- 8.c. Procedure and Rules
Di sekolah anak saya berlaku yang namanya procedures and rules. Guru membuat prosedur untuk ke toilet dengan mengacungkan dua jari, artinya: “I want to pee.”. Tapi kalau sudah mendesak anak boleh melambaikan tiga jarinya. Itu artinya: “Sudah nggak tahan, Miss.” Guru mengangguk, si anak boleh keluar kelas. Cara ini meminimalkan keributan di kelas. Kalau anak-anak ingin pindah kelas (sekolah menggunakan cara moving class), ada prosedurnya juga. Kalau masih lupa, diulangi lagi. Ini yang namanya prosedur. Guru tidak boleh memberikan hukuman kepada siswa kalau dia melanggar prosedur. Prosedur bisa diterapkan di rumah. Misalnya ada prosedur sebelum tidur, yaitu: ganti baju, sikat gigi, cuci kaki, berdoa. Bagaimana prosedur makan? Beri anak giliran menyiapkan meja, atur piring dan perlengkapannya. Setelah masing-masing duduk, ayah berdoa; barulah makan. Setelah makan, anak-anak menaruh piring di tempat cuci, ada yang mencuci, ada yang membereskan meja, dan seterusnya. Mungkin awalnya agak sulit. Jika prosedur ini sudah menjadi kebiasaan yang diterapkan di rumah, orangtua bisa lebih lega. Saat anak lupa kita hanya perlu berkata, “Prosedur....,” maka anak kita sudah tahu apa yang harus dilakukannya.
Berbeda dengan rules. Rules adalah peraturan. Kalau peraturan dilanggar, ada sanksinya. Anak-anak kecil umumnya tidak perlu diberi peraturan. Karena, jika mereka sudah mengikuti prosedur dengan baik, tidak ada lagi yang bersifat peraturan. Bagi remaja, kita perlu memberi peraturan jam malam, misalnya. Atau aturan main game dibatasi 1-2 jam, dan seterusnya. Kalau dilanggar, beritahukan sanksinya kepada mereka. Tanpa omelan, jika remaja kita melanggar peraturan, terapkanlah sanksi untuk mereka. Kalau Anda mengalami kesulitan dalam mendisiplin anak, pelajarilah psikologi perkembangan anak, cari bantuan konselor keluarga. Juga ikuti kelas-kelas parenting.
Akhirnya, berikanlah lebih banyak waktu kepada mereka.
Penutup
- Sikap baik apakah yang kita inginkan dari anak-anak kita?
- Ada baiknya kita mencatatnya, kemudian mencoba merefleksikannya.
- Beri waktu untuk membicarakannya dengan anak-anak.
- Kita sendiri berusaha menjadi contoh buat anak. Sebab bagi mereka perbuatan berbicara lebih keras dari perkataan.
- Jika kita ingin anak bersikap baik, kita harus membuat diri kita punya sikap baik lebih dulu. Sejak kecil, anak belajar sikap baik dari orangtuanya.
- Jadi, tinggalkan omelan dan pukulan. Mulailah bersikap baik agar anak-anak kita mewarisi sikap baik kita juga. Akhirnya anak-anak jugalah yangmemberikan kesenangan dan sukacita dalam hidup kita karena melihat mereka hidup dalam kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Your comment pleaaseee